Pembahasan Amar Ma’ruf Nahi Munkar
.
1. Secara Etimologis
Pada hakikatnya Amar maruf nahi Munkar terdapat empat penggalan
kata yang apabila dipisahkan satu sama lain mengandung pengertian sebagai
berikut: امر : amar, معرف maruf, هي : nahi, dan :منكر Munkar. Manakala keempat
kata tersebut digabungkan, akan menjadi: امربا معروف والنهي عن المنكر yang
artinya menyuruh yang baik dan melarang yang buruk.
Sesungguhnya, dalam membangun serta membina akidah dan
akhlak seorang muslim, Islam tidak sekadar menjadikannya sebagai pribadi yang
saleh. Akan tetapi, juga mendorongnya untuk menjadi pribadi yang mushlih
(selalu mengupayakan terciptanya perbaikan), saleh bagi dirinya dan mengupayakan
kesalehan bagi selainnya. Prinsip amar ma’ruf nahi mungkar mengajarkan kepada
setiap muslim untuk menjadi pribadi yang saleh dan mushlih. Untuk itu,
menerapkan amar ma’ruf nahi mungkar haruslah mengetahui tahapan-tahapannya,
dari mana memulainya dan apa yang mesti diperhatikannya.
Memulai dari yang Paling Penting
Kemudian yang Penting Berikutnya Mendahulukan yang terpenting dari yang penting
adalah bagian dari kaidah penerapan amar ma’ruf nahi mungkar. Seseorang yang
akan menerapkannya hendaknya memulai langkahnya dengan memperbaiki dasar-dasar
keyakinan, yaitu memerintahkan tauhid dan mengikhlaskan ibadah hanya
kepada-Nya, serta mencegah kesyirikan, kebid’ahan, dan hal-hal yang berbau
sihir. Kemudian ia memerintahkan menegakkan shalat, menunaikan zakat, serta
kewajiban-kewajiban lainnya. Lalu ia memerintahkan meninggalkan perkara-perkara
haram. Berikutnya, ia memerintahkan perkara-perkara yang sunnah, diikuti dengan
meninggalkan hal hal yang makruh.
Demikianlah metode dakwah dan amar ma’ruf nahi mungkar
yang diterapkan oleh seluruh rasul Allah l. Mereka memberikan porsi yang lebih
terhadap pembenahan akidah tanpa mengesampingkan perkara-perkara penting
lainnya, karena pada dasarnya tidak ada masalah yang tidak penting dalam Islam.
Melihat Maslahat dan Mafsadah Ada satu kaidah yang
tidak boleh diabaikan oleh orang yang hendak menerapkan amar ma’ruf nahi
mungkar, yaitu ‘menolak mafsadah (kerusakan) lebih diutamakan daripada
mengambil maslahat’. Oleh karena itu, menjadi keharusan mengetahui maslahat
yang dihasilkan dan mafsadah yang ditimbulkan dari penerapan amar ma’ruf nahi
mungkar. Adapun rinciannya adalah sebagai berikut. Pertama: Apabila
kemaslahatan yang dihasilkan lebih besar dibandingkan mafsadahnya, wajib
beramar ma’ruf nahi mungkar.
Kedua: Apabila yang terjadi kebalikannya, yakni mafsadahnya lebih besar dari maslahatnya, menjadi tidak wajib menegakkannya bahkan diharamkan.
Ketiga: Jika keadaannya seimbang antara maslahat dan mafsadahnya, atau yang ma’ruf dan yang mungkar sama-sama dilakukan, maka tidak boleh memerintah kepada yang ma’ruf, tidak pula mencegah yang mungkar. Artinya, dalam kondisi ini, menghindari terjadinya mafsadah yang lebih besar diutamakan daripada mengambil maslahat. Keempat: Apabila bercampur antara yang ma’ruf dengan yang mungkar, langkah yang diambil adalah menyampaikan seruan/dakwah secara khusus kepada yang ma’ruf dan menyampaikan ajakan secara khusus agar menjauh dari segala hal yang mungkar. Sebenarnya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t telah menjelaskan kaidah ini dengan gamblang. Beliau mengatakan, “Apabila maslahat dan mafsadah, kebaikan dan kejelekan, sama-sama mencuat atau sama-sama menguat, yang wajib adalah mendahulukan mana yang lebih dominan. Hal ini karena amar ma’ruf nahi mungkar, sekalipun membawa misi untuk mewujudkan maslahat dan menolak mafsadah, tetap harus mempertimbangkan apa yang menjadi rintangannya. Jika maslahat yang hendak dicapai tidak sebesar mafsadah yang akan muncul, tidak boleh menerapkan amar ma’ruf nahi mungkar, bahkan menjadi haram dalam kondisi tersebut.
Tetapi, mengukur maslahat dan mafsadah itu harus dengan timbangan syariat. Artinya, kapan seseorang itu punya kemampuan untuk mengikuti dalil, maka tidak boleh berpaling darinya. Kalau tidak, maka berijtihad dengan pendapatnya jika ia termasuk ahli ijtihad. Namun, sangat sedikit orang yang berkemampuan seperti di atas. Intinya, ini adalah bagian yang dikembalikan kepada ahlul ilmi dan ulama.
Dengan demikian, apabila seseorang atau suatu kelompok mencampuradukkan antara yang ma’ruf dan yang mungkar, serta tidak lagi membedakan keduanya (bisa jadi kedua-duanya dilakukan atau ditinggalkan), tidak diperkenankan memerintah mereka kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, akan tetapi hendaknya mempertimbangkan hal berikut. Apabila jumlah yang ma’rufnya lebih banyak dilakukan, maka sampaikan perintah kepada (yang ma’ruf). Meskipun masih terjadi kemungkaran yang jumlahnya lebih sedikit, tidak boleh dicegah dari melakukannya (nahi mungkar), karena hal tersebut justru akan menyebabkan hilangnya yang ma’ruf yang secara kuantitas jauh lebih banyak.
Bahkan, mencegahnya (nahi mungkar) ketika itu sama saja dengan menghalang-halangi dari jalan Allah l, mengusahakan hilangnya ketaatan kepada-Nya dan kepada rasul-Nya, serta dianggap menghilangkan perbuatan baik. Sebaliknya, apabila kemungkaran yang dilakukannya lebih banyak, maka harus dicegah (nahi mungkar) meskipun mengakibatkan ditinggalkannya kebaikan yang jumlahnya lebih sedikit. Ini karena memerintahkan kepada yang ma’ruf yang lebih sedikit dilakukan hanya akan menyebabkan bertambahnya kemungkaran, sehingga hal itu (amar ma’ruf) justru masuk dalam kategori mengupayakan terjadinya kemaksiatan kepada Allah l dan Rasul-Nya.
Kemudian, kalau kedua-duanya sama-sama dilakukan, baik yang ma’ruf maupun yang mungkar dan keduanya saling terkait, maka tidak boleh menerapkan amar ma’ruf, tidak pula nahi mungkar. Kadang-kadang amar ma’ruf lebih tepat, tapi kadang juga sebaliknya nahi mungkar yang lebih tepat. Atau justru lebih tepat untuk tidak menerapkan (menahan dulu) amar ma’ruf nahi mungkar. Hal ini bisa terjadi dalam perkara tertentu yang nyata.”
Kedua: Apabila yang terjadi kebalikannya, yakni mafsadahnya lebih besar dari maslahatnya, menjadi tidak wajib menegakkannya bahkan diharamkan.
Ketiga: Jika keadaannya seimbang antara maslahat dan mafsadahnya, atau yang ma’ruf dan yang mungkar sama-sama dilakukan, maka tidak boleh memerintah kepada yang ma’ruf, tidak pula mencegah yang mungkar. Artinya, dalam kondisi ini, menghindari terjadinya mafsadah yang lebih besar diutamakan daripada mengambil maslahat. Keempat: Apabila bercampur antara yang ma’ruf dengan yang mungkar, langkah yang diambil adalah menyampaikan seruan/dakwah secara khusus kepada yang ma’ruf dan menyampaikan ajakan secara khusus agar menjauh dari segala hal yang mungkar. Sebenarnya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t telah menjelaskan kaidah ini dengan gamblang. Beliau mengatakan, “Apabila maslahat dan mafsadah, kebaikan dan kejelekan, sama-sama mencuat atau sama-sama menguat, yang wajib adalah mendahulukan mana yang lebih dominan. Hal ini karena amar ma’ruf nahi mungkar, sekalipun membawa misi untuk mewujudkan maslahat dan menolak mafsadah, tetap harus mempertimbangkan apa yang menjadi rintangannya. Jika maslahat yang hendak dicapai tidak sebesar mafsadah yang akan muncul, tidak boleh menerapkan amar ma’ruf nahi mungkar, bahkan menjadi haram dalam kondisi tersebut.
Tetapi, mengukur maslahat dan mafsadah itu harus dengan timbangan syariat. Artinya, kapan seseorang itu punya kemampuan untuk mengikuti dalil, maka tidak boleh berpaling darinya. Kalau tidak, maka berijtihad dengan pendapatnya jika ia termasuk ahli ijtihad. Namun, sangat sedikit orang yang berkemampuan seperti di atas. Intinya, ini adalah bagian yang dikembalikan kepada ahlul ilmi dan ulama.
Dengan demikian, apabila seseorang atau suatu kelompok mencampuradukkan antara yang ma’ruf dan yang mungkar, serta tidak lagi membedakan keduanya (bisa jadi kedua-duanya dilakukan atau ditinggalkan), tidak diperkenankan memerintah mereka kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, akan tetapi hendaknya mempertimbangkan hal berikut. Apabila jumlah yang ma’rufnya lebih banyak dilakukan, maka sampaikan perintah kepada (yang ma’ruf). Meskipun masih terjadi kemungkaran yang jumlahnya lebih sedikit, tidak boleh dicegah dari melakukannya (nahi mungkar), karena hal tersebut justru akan menyebabkan hilangnya yang ma’ruf yang secara kuantitas jauh lebih banyak.
Bahkan, mencegahnya (nahi mungkar) ketika itu sama saja dengan menghalang-halangi dari jalan Allah l, mengusahakan hilangnya ketaatan kepada-Nya dan kepada rasul-Nya, serta dianggap menghilangkan perbuatan baik. Sebaliknya, apabila kemungkaran yang dilakukannya lebih banyak, maka harus dicegah (nahi mungkar) meskipun mengakibatkan ditinggalkannya kebaikan yang jumlahnya lebih sedikit. Ini karena memerintahkan kepada yang ma’ruf yang lebih sedikit dilakukan hanya akan menyebabkan bertambahnya kemungkaran, sehingga hal itu (amar ma’ruf) justru masuk dalam kategori mengupayakan terjadinya kemaksiatan kepada Allah l dan Rasul-Nya.
Kemudian, kalau kedua-duanya sama-sama dilakukan, baik yang ma’ruf maupun yang mungkar dan keduanya saling terkait, maka tidak boleh menerapkan amar ma’ruf, tidak pula nahi mungkar. Kadang-kadang amar ma’ruf lebih tepat, tapi kadang juga sebaliknya nahi mungkar yang lebih tepat. Atau justru lebih tepat untuk tidak menerapkan (menahan dulu) amar ma’ruf nahi mungkar. Hal ini bisa terjadi dalam perkara tertentu yang nyata.”
Amar ma’ruf nahi munkar tidak hanya menyangkut hal-hal yang
berkaitan
dengan pokok-pokok agama saja atau ideologi semata. Amar
ma’ruf
nahi munkar juga bisa saja berkaitan dengan kehidupan sosial, politik,
budaya
maupun hukum. Contohnya, ketika seseorang menyarankan temannya
yang
masih membujang untuk segera menikah, berarti orang tersebut telah
melakukaan
amar ma’ruf. Contoh lain, ketika seorang pemimpin berusaha
untuk
memberantas korupsi, maka pemimpin tersebut telah ber-nahi munkar’,
dan seterusnya. Mengajak kepada kebaikan itu baik, melarang kemungkaran
juga
baik. Apabila kebaikan selalu diserukan, tetapi masih ada saja yang
melakukan
kemunkaran, maka kemungkaran tersebut harus dirubah atau di
perbaiki.
1. Aspek Sosial
Dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Bukhari, Rasulullah menggambarkan masyarakat yang amar
ma'ruf dan nahi mungkar, dan masyarakat tidak melakukan amar
ma'ruf nahi mungkar, dengan para penumpang kapal yang mengundi tempat di
kapal, sebagian mendapat tempat di atas dan sebagian mendapat tempat di bawah,
orang-orang yang bertempat di bawah apabila ingin mengambil air, mereka harus
melewati orang-orang yang ada di bagian atas, maka mereka berkata: kalau saja
kita melubangi kapal agar tidak mengganggu orang di atas. Jika mereka membiarkan
kemauan mereka, maka akan binasa semua, dan jika mereka dihalangi maka semuanya
akan selamat.
Ini adalah
gambaran yang indah bagi pengaruh amar ma'ruf dan nahi mungkar dalam
masyarakat, dari hadits tersebut jelas bahwa amar ma'ruf dan nahi
munkar bisa menyelamatkan orang-orang lalai dan orangorang ahli maksiat dan
juga orang lain yang taat dan istiqamah, dan bahwa sikap diam atau tidak peduli
terhadap amar ma'ruf dan nahi mungkar merupakan suatu bahaya dan
kehancuran, ini tidak hanya mengenai orangorang yang bersalah saja, akan tetapi
mencakup semuanya, yang baik dan yang buruk, yang taat dan yang jahat, yang
takwa dan yang fasik. Amar ma'ruf dan nahi munkar merupakan
hak dan kewajiban rakyat Dalam masyarakat muslim amar ma'ruf dan nahi
mungkar merupakan hak dan juga kewajiban bagi mereka, ia merupakan salah
satu prinsip politik dan sosial, al-Qur'an dan hadits nabi telah menjelaskan
hal itu dan memerintah orang untuk memberikan nasihat atau kritik bagi pemangku
kekuasaan dalam masyarakat, dan minta penjelasan hal-hal yang menjadi
kemaslahatan rakyat, atau mengingkari hal-hal yang tidak menjadi maslahat bagi
rakyat.
2. Aspek
Politik
implementasi amar
ma’ruf nahi munkar juga harus didasari dengan penghargaan akan keniscayaan
perbedaan dan keragaman yang tumbuh dalam kehidupan masyarakat bangsa Indonesia
yang majemuk. Oleh karenanya, prinsip tasamuh tidak dapat dipisahkan dalam
melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Dengan demikian, maka umat muslim
Indonesia, sebagai mayoritas di negeri ini, dapat memperkokoh tegaknya negara
hukum Indonesia.20 Dalam hal ini, tidak ada kebebasan bagi semua orang atau
kelompok untuk secara langsung melakukan tindakan kekerasan atas dasar amar ma’ruf
nahi munkar, kecuali atas dasar otoritas yang diberikan oleh negara. Otoritas
inilah yang dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini dapat
dipahami sebagai makna dari “biyadihi/dengan tangan” dalam hadis yang dikutip
sebelumnya, tentang anjuran merubah kemungkaran. Selain itu, implementasi amar
ma’ruf nahi munkar juga 20 Syahrul Efendi dan Yudi Pramuko, Rahasia Sukses
Dakwah……,
harus didasari
dengan penghargaan akan keniscayaan perbedaan dan keragaman yang tumbuh dalam
kehidupan masyarakat bangsa Indonesia yang majemuk. Oleh karenanya, prinsip
tasamuh tidak dapat dipisahkan dalam melakukan amar ma’ruf nahi munkar.
Reformasi dan
sosialisasi konsep Amar ma’ruf nahi munkar dalam bidang hukum berarti
penegakkan hukum dalam masyarakat dan Negara dalam mewujudkan keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Amar
ma’ruf nahi munkar merupakan statemen
tanpa terkecuali baik laki-laki maupun perempuan, yang miskin atau yang
kaya, seorang pemimpin atau yang bawahan, kulit hitam maupun kulit
putuh, buruhmaupun pengusaha, dan seterusnya. Amar ma’ruf nahi munkar memiliki
kekuatan penegakkan terhadap prinsip-prinsip keadilan, kejujuran, dan perlu
dijalankan berdasarkan sidiq amanah, fathonah, tabligh, dan istiqomah
serta sabar. Hal ini hendaknya mampu menghilangkan rasa riya’, sum’ah,
ujub, dengki, munafik, kufur, dan lain sebagainnya.
Gerakan amar
ma’ruf nahi munkar dengan muatan-muatan penegakkan dan penerapan
prinsip itu ditujukan sebagai landasan gerak setiap muslim. Semua
dijalankan secara global, konferhensip, stimulant dan berkelanjutan.
Serta antara amar ma’ruf nahi munkar sebagai satu kesatuan
perjuangan bak dua sisi sekeping mata uang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar