Jumat, 29 Juli 2016

Struktur Ruang Kota


Pada hakikatnya kota merupakan pemukiman sekaligus tempat aktivitas penduduknya. Secara sederhana, kota dapat didefinisikan sebagai tempat pemusatan penduduk dengan sumber mata pencaharian di luar sektor pertanian, adanya aneka ragam aktivitas, kepentingan, dan latar belakang sosial budaya, serta merupakan pusat pertumbuhan bagi daerah sekitarnya.
Adapun menurut Bintarto, kota adalah sebuah bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alamiah dan nonalamiah, dengan gejala-gejala pemusatan penduduk yang cukup besar dan corak kehidupan yang bersifat heterogen dan materialistis dibandingkan dengan daerah belakangnya (hinterland).
Peraturan Menteri Dalam Negeri RI No. 4 tahun 1980  menyebutkan bahwa kota terdiri atas dua. Pertama, kota sebagai suatu wadah yang memiliki batasan administratif sebagaimana diatur dalam perundang-undangan. Kedua
, kota sebagai suatu lingkungan kehidupan perkotaan yang mempunyai ciri non-
agraris, misalnya ibu kota kabupaten, serta berfungsi sebagai pusat pertumbuhan dan permukiman.
Untuk keberlangsungan sebuah kota, ada bagian-bagian kota serta fasilitas dan tata letaknya yang perlu mendapatkan perhatian, diantaranya adalah prasarana perekonomian, bangunan pemerintahan, sarana layanan kesehatan, sarana pendidikan, pusat-pusat jasa (kantor pos dan telekomunikasi), lalu lintas serta stasiun dan terminalnya, tempat peribadatan, tempat hiburan dan rekreasi serta saluran pengaturan air dan tempat pembuangan sampah.
Perbedaan antara struktur kota dengan desa dapat dilihat dari berbagai fasilitas dan beragamnya aktivitas masyarakat. Johara (1986) menyebutkan segala yang dibangun di daerah kota, baik oleh alam seperti bukit dan gunung, maupun oleh manusia seperti gedung-gedung, rumah, pabrik, dan sebagainya dianggap sebagai suatu struktur ruang kota.
Dinamika pertumbuhan dan perkembangan suatu kota dipengaruhi oleh lokasi dan keadaan morfologinya. Jika kota tersebut memiliki kekayaan alam yang memadai dan berada di pusat kawasan hinterland yang potensial maka kota tersebut akan mengalami perkembangan yang lebih cepat dibandingkan kota yang berada di daerah perbukitan.
a. Pola Konsentris
Kota yang berpola konsentris dianggap berasal dari suatu tempat pengelompokan penduduk yang masing-masing bagiannya berkembang sedikit demi sedikit ke arah luar. Sehingga, tempat pertama yang berada di tengah merupakan pusat untuk segala kegiatan yang dikelilingi oleh zona-zona yang berbentuk lingkaran yang berlapis-lapis ke arah luar. Pusat kota inilah yang disebut Central Busines District (CBD) atau dalam bahasa Indonesia disebut Pusat Daerah Kegiatan (PDK). Di Amerika, pusat ini disebut juga dengan istilah loop atau down town, yang diterjemahkan sebagai simpul atau kota bawah. Teori ini dikemukakan oleh Ernest W. Burgess(1929).
1)      Zona pusat daerah kegiatan (Central Busines Districts), terdapat pusat perdagangan besar, gedung perkantoran yang bertingkat, hotel, restoran, bank, museum, dan sebagainya.
2)      Zona peralihan atau zona transisi merupakan daerah yang terkait dengan pusat daerah kegiatan. Penduduk zona ini tidak stabil, baik dilihat dari tempat tinggal maupun sosial ekonominya. Zona ini dikategorikan sebagai daerah berpenduduk miskin. Dalam rencana pengembangan kota daerah ini dapat dijadikan sebagai kompleks industri menufaktur, perhotelan, tempat parkir, gudang, apartemen, dan jalan-jalan utama yang menghubungkan inti kota dengan daerah luarnya.
3)      Zona permukiman kelas proletar (workingmen’s homes), perumahannya sedikit baik. Didiami oleh para pekerja yang berpenghasilan kecil atau buruh dan karyawan ke-las bawah, ditandai oleh adanya rumah-rumah kecil yang kurang menarik dan rumah-rumah susun sederhana yang dihuni oleh keluarga besar.
4)      Zona permukiman kelas menengah (residential zone), merupakan kompleks perumahan para karyawan kelas menengah yang memiliki keahlian tertentu. Rumah-rumahnya lebih baik dibandingkan daerah kelas proletar.
5)      Wilayah tempat tinggal masyarakat berpenghasilan tinggi. Ditandai dengan adanya kawasan elit, perumahan dan halaman yang luas. Sebagaian besar penduduk merupakan kaum eksekutif, pengusaha besar, dan pejabat tinggi.
6)      Zona penglaju (commuters), merupakan daerah yang memasuki daerah belakang ( hinterland) atau merupakan daerah batas desa-kota. Penduduknya bekerja di kota dan tinggal di pinggiran kota.
Beberapa kota yang tumbuh membentuk pola konsentris diantaranya adalah Tokyo di Jepang dan kota-kota pelabuhan, seperti Kota Chicago, Kalkuta, Adelaide, dan Amsterdam.
b. Pola Sektoral
Kota dengan pola sektoral dikemukakan oleh Homer Hoyt (1930). Pada kota yang berpola sektoral, dianggap bahwa sektor-sektor yang menjadi bagian dari suatu kota dapat berkembang sendiri-sendiri tanpa banyak dipengaruhi oleh pusat kota maupun sektor lain. Suatu sektor dapat berkembang lebih cepat daripada sektor yang lain. Begitu pula jarak antar sektor dengan pusat kota juga berlainan. Perkembangan sektor-sektor ini sangat dipengaruhi oleh aktivitas penduduknya, selain itu, topografi kota (terutama relief) juga mempengaruhi
perkembangan kota ini.
Kota sektoral tersusun sebagai berikut.
1)      Pada lingkaran dalam terletak pusat kota (CBD) yang terdiri atas bangunan-bangunan kantor, hotel, bank, bios-kop, pasar, dan pusat perbelanjaan.
2)      Kawasan industri ringan dan perdagangan.
3)      Sektor murbawisma, yaitu tempat tinggal kaum murba atau kaum buruh. Berada di dekat pusat kota dan dekat sektor pada nomor 2.
4)      Agak jauh dari pusat kota dan sektor industri serta perdagangan, terletak sektor madyawisma.
5)      Sektor adiwisma, yaitu kawasan tempat tinggal golongan atas.
Pada kota sektoral, selain terjadi pertumbuhan mendatar terjadi juga pertumbuhan vertikal yang terdapat di sektor yang dihuni atau dimilki oleh orang yang cukup mampu.
Ciri pertumbuhan memampat adalah luasnya tidak bertambah atau hanya bertambah sedikit, tetapi penduduk dan kegiatannya bertambah banyak. Salah satu akibat dari pertumbuhan memampat ialah tumbuhnya pemukiman kumuh dan pemukiman liar. Dae-rah kumuh sering dijumpai di sepanjang aliran sungai atau sepanjang rel kereta api.
c. Pola Pusat Kegiatan Ganda
Teori kota dengan pusat kegiatan berganda dikembangkan oleh C.D. Harris
dan E.L. Ullman (1945). Pada kota dengan pusat kegiatan berganda dapat dilihat dari kenyataan bahwa bagian-bagiannya mempunyai latar belakang lingkungan yang berlainan, baik lingkungan alami maupun lingkungan sosial
dan ekonomi.
Dengan demikian, setiap pusat kegiatan dapat berkembang dan tumbuh sendiri-sendiri seolah-olah lepas dari pengaruh kegiatan yang lain. Keadaan tersebut telah menyebabkan adanya beberapa inti dalam suatu wilayah perkotaan, misalnya kompleks atau wilayah perindustrian, pelabuhan, kompleks perguruan tinggi, dan kota-kota kecil di sekitar kota besar. Struktur ruang kota menurut teori ini adalah sebagai berikut.
1) Pusat kota atau Central Busines Districst(CBD).
2) Kawasan niaga dan industri ringan.
3) Kawasan murbawisma, tempat tinggal berkualitas rendah.
4) Kawasan madyawisma, tempat tinggal berkualitas menengah.
5) Kawasan adiwisma, tempat tinggal berkualitas tinggi.
6) Pusat industri berat.
7) Pusat niaga/perbelanjaan lain di pinggiran
8) Zona pemukiman suburban (madyawisma dan adiwisma).
9) Zona industri suburban.
Adapun tahapan perkembangan kota di mulai dari beberapa tahap berikut ini.
1. Tahap eopolis, yaitu tahap perkembangan wilayah yang sudah diatur kearah kehidupan kota.
2. Tahap polis, yaitu tahap perkembangan kota yang masih ada pengaruh kehidupan desa.
3. Tahap metropolis, yaitu tahap perkembangan desa yang sudah mengarah ke sektor industri.
4. Tahap megapolis, yaitu tahap perkembangan kota yang telah mencapai tingkat tertinggi.
5 Tahap trinapolis, yaitu tahap perkembangan kota yang kehidupannya sulit dikendalikan.
6 Tahap nekropolis, yaitu tahap perkembangan kota yang kehidupannya mulai sepi dan mengarah menjadi kota mati.
Berdasarkan bentuk bangunan dan persebarannya, tahap perkembangan kota dapat dibedakan menjadi 4 yaitu, sebagai berikut.
1 Standia infatile,yaitu bebentuk rumah dan toko menjadi satu.
2 Standia juventile,yaitu bentuk rumah kuno yang diganti menjadi rumah baru.
3. Standia sinile,yaitu bentuk kemunduran pada kota masing-masing.
4. Standia mature,yaitu bentuk rumah yang diatur penyusunannya seperti kawasan industri.
Berdasarkan sejarahnya, pertumbuhan kota dapat dibedakan sebagai berikut.
a. Kota Pusat Perdagangan
Berdasarkan sejarah pertumbuhan kota, kota yang berasal dari pusat perdagangan adalah kota Jakarta. Sejak zaman Penjajahan Belanda, Jakarta dikenal dengan beberapa nama seperti Jayakarta, Batavia, dan Sunda Kelapa. Berdasarkan sejarah kota Jakarta merupakan kota pusat perdagangan yang juga sebagai kota pelabuhan dan pusat pemerintahan.
b. Kota Perkebunan
Kota-kota yang berada di Pulau Jawa dan Sumatra berkembang karena adanya usaha perkebunan. Kota Medan dan Pematang Siantar di Sumatra termasuk kota perkebunan, di mana dahulunya merupakan kota yang banyak perkebunan milik Belanda.
c.  Kota Pertambangan
Beberapa kota yang tumbuh di Indonesia disebabkan adanya kegiatan pertambangan. Hal ini disebakan karena beberapa komoditas hasil tambang sangat bernilai ekonomis yang dapat menarik penduduk sekitarnya sehingga menjadi pusat kegiatan penduduk. Contoh kota-kota yang tumbuh dari
adanya pertambangan adalah:
• Martapura karena adanya tambang intan
• Bangka dan Belitung karena adanya tambang timah
• Balikpapan karena adanya minyak bumi
• Soroako karena adanya tambang nikel
• Ombilin dan Muara Enim karena adanya batubara
• Arun dan Bontang karena adanya gas alam
• Tembaga Pura karena adanya tambang tembaga.
d.  Kota Pusat Pariwisata
Beberapa kota di Indonesia dapat tumbuh dan berkembang karena adanya tempat pariwisata baik yang disebabkan oleh hasil karya dan kebudayaan manusia atau karena potensi keindahan alamnya. Contoh kota ini adalah Yogyakarta,
Surakarta, dan Bali.


Tidak ada komentar: