Pada
hakikatnya kota merupakan pemukiman sekaligus tempat aktivitas penduduknya.
Secara sederhana, kota dapat didefinisikan sebagai tempat pemusatan penduduk
dengan sumber mata pencaharian di luar sektor pertanian, adanya aneka ragam aktivitas,
kepentingan, dan latar belakang sosial budaya, serta merupakan pusat
pertumbuhan bagi daerah sekitarnya.
Adapun
menurut Bintarto, kota adalah sebuah bentang budaya yang ditimbulkan oleh
unsur-unsur alamiah dan nonalamiah, dengan gejala-gejala pemusatan penduduk
yang cukup besar dan corak kehidupan yang bersifat heterogen dan materialistis
dibandingkan dengan daerah belakangnya (hinterland).
Peraturan
Menteri Dalam Negeri RI No. 4 tahun 1980 menyebutkan bahwa kota terdiri atas dua.
Pertama, kota sebagai suatu wadah yang memiliki batasan administratif
sebagaimana diatur dalam perundang-undangan. Kedua
, kota sebagai suatu lingkungan
kehidupan perkotaan yang mempunyai ciri non-
agraris, misalnya ibu kota
kabupaten, serta berfungsi sebagai pusat pertumbuhan dan permukiman.
Untuk
keberlangsungan sebuah kota, ada bagian-bagian kota serta fasilitas dan tata
letaknya yang perlu mendapatkan perhatian, diantaranya adalah prasarana
perekonomian, bangunan pemerintahan, sarana layanan kesehatan, sarana pendidikan,
pusat-pusat jasa (kantor pos dan telekomunikasi), lalu lintas serta stasiun dan
terminalnya, tempat peribadatan, tempat hiburan dan rekreasi serta saluran
pengaturan air dan tempat pembuangan sampah.
Perbedaan
antara struktur kota dengan desa dapat dilihat dari berbagai fasilitas dan
beragamnya aktivitas masyarakat. Johara (1986) menyebutkan segala yang dibangun
di daerah kota, baik oleh alam seperti bukit dan gunung, maupun oleh manusia
seperti gedung-gedung, rumah, pabrik, dan sebagainya dianggap sebagai suatu
struktur ruang kota.
Dinamika
pertumbuhan dan perkembangan suatu kota dipengaruhi oleh lokasi dan keadaan
morfologinya. Jika kota tersebut memiliki kekayaan alam yang memadai dan berada
di pusat kawasan hinterland yang potensial maka kota tersebut akan mengalami
perkembangan yang lebih cepat dibandingkan kota yang berada di daerah
perbukitan.
a. Pola Konsentris
Kota yang berpola konsentris
dianggap berasal dari suatu tempat pengelompokan penduduk yang masing-masing
bagiannya berkembang sedikit demi sedikit ke arah luar. Sehingga, tempat
pertama yang berada di tengah merupakan pusat untuk segala kegiatan yang
dikelilingi oleh zona-zona yang berbentuk lingkaran yang berlapis-lapis ke arah
luar. Pusat kota inilah yang disebut Central Busines District (CBD) atau dalam
bahasa Indonesia disebut Pusat Daerah Kegiatan (PDK). Di Amerika, pusat ini
disebut juga dengan istilah loop atau down town, yang diterjemahkan sebagai
simpul atau kota bawah. Teori ini dikemukakan oleh Ernest W. Burgess(1929).
1) Zona pusat daerah kegiatan (Central
Busines Districts), terdapat pusat perdagangan besar, gedung perkantoran yang
bertingkat, hotel, restoran, bank, museum, dan sebagainya.
2) Zona peralihan atau zona transisi
merupakan daerah yang terkait dengan pusat daerah kegiatan. Penduduk zona ini
tidak stabil, baik dilihat dari tempat tinggal maupun sosial ekonominya. Zona
ini dikategorikan sebagai daerah berpenduduk miskin. Dalam rencana pengembangan
kota daerah ini dapat dijadikan sebagai kompleks industri menufaktur, perhotelan,
tempat parkir, gudang, apartemen, dan jalan-jalan utama yang menghubungkan inti
kota dengan daerah luarnya.
3) Zona permukiman kelas proletar
(workingmen’s homes), perumahannya sedikit baik. Didiami oleh para pekerja yang
berpenghasilan kecil atau buruh dan karyawan ke-las bawah, ditandai oleh adanya
rumah-rumah kecil yang kurang menarik dan rumah-rumah susun sederhana yang
dihuni oleh keluarga besar.
4) Zona permukiman kelas menengah
(residential zone), merupakan kompleks perumahan para karyawan kelas menengah
yang memiliki keahlian tertentu. Rumah-rumahnya lebih baik dibandingkan daerah
kelas proletar.
5) Wilayah tempat tinggal masyarakat
berpenghasilan tinggi. Ditandai dengan adanya kawasan elit, perumahan dan
halaman yang luas. Sebagaian besar penduduk merupakan kaum eksekutif, pengusaha
besar, dan pejabat tinggi.
6) Zona penglaju (commuters), merupakan
daerah yang memasuki daerah belakang ( hinterland) atau merupakan daerah batas
desa-kota. Penduduknya bekerja di kota dan tinggal di pinggiran kota.
Beberapa kota yang tumbuh membentuk
pola konsentris diantaranya adalah Tokyo di Jepang dan kota-kota pelabuhan,
seperti Kota Chicago, Kalkuta, Adelaide, dan Amsterdam.
b. Pola Sektoral
Kota dengan pola sektoral
dikemukakan oleh Homer Hoyt (1930). Pada kota yang berpola sektoral, dianggap
bahwa sektor-sektor yang menjadi bagian dari suatu kota dapat berkembang
sendiri-sendiri tanpa banyak dipengaruhi oleh pusat kota maupun sektor lain.
Suatu sektor dapat berkembang lebih cepat daripada sektor yang lain. Begitu
pula jarak antar sektor dengan pusat kota juga berlainan. Perkembangan
sektor-sektor ini sangat dipengaruhi oleh aktivitas penduduknya, selain itu,
topografi kota (terutama relief) juga mempengaruhi
perkembangan kota ini.
1) Pada lingkaran dalam terletak pusat
kota (CBD) yang terdiri atas bangunan-bangunan kantor, hotel, bank, bios-kop,
pasar, dan pusat perbelanjaan.
2) Kawasan industri ringan dan
perdagangan.
3) Sektor murbawisma, yaitu tempat
tinggal kaum murba atau kaum buruh. Berada di dekat pusat kota dan dekat sektor
pada nomor 2.
4) Agak jauh dari pusat kota dan sektor
industri serta perdagangan, terletak sektor madyawisma.
5) Sektor adiwisma, yaitu kawasan
tempat tinggal golongan atas.
Pada kota sektoral, selain terjadi pertumbuhan
mendatar terjadi juga pertumbuhan vertikal yang terdapat di sektor yang dihuni
atau dimilki oleh orang yang cukup mampu.
Ciri pertumbuhan memampat adalah
luasnya tidak bertambah atau hanya bertambah sedikit, tetapi penduduk dan
kegiatannya bertambah banyak. Salah satu akibat dari pertumbuhan memampat ialah
tumbuhnya pemukiman kumuh dan pemukiman liar. Dae-rah kumuh sering dijumpai di
sepanjang aliran sungai atau sepanjang rel kereta api.
c. Pola Pusat Kegiatan Ganda
Teori kota dengan pusat kegiatan
berganda dikembangkan oleh C.D. Harris
dan E.L. Ullman (1945). Pada kota
dengan pusat kegiatan berganda dapat dilihat dari kenyataan bahwa
bagian-bagiannya mempunyai latar belakang lingkungan yang berlainan, baik
lingkungan alami maupun lingkungan sosial
dan ekonomi.
Dengan demikian, setiap pusat
kegiatan dapat berkembang dan tumbuh sendiri-sendiri seolah-olah lepas dari
pengaruh kegiatan yang lain. Keadaan tersebut telah menyebabkan adanya beberapa
inti dalam suatu wilayah perkotaan, misalnya kompleks atau wilayah
perindustrian, pelabuhan, kompleks perguruan tinggi, dan kota-kota kecil di
sekitar kota besar. Struktur ruang kota menurut teori ini adalah sebagai berikut.
1) Pusat kota atau Central Busines
Districst(CBD).
2) Kawasan niaga dan industri
ringan.
3) Kawasan murbawisma, tempat
tinggal berkualitas rendah.
4) Kawasan madyawisma, tempat
tinggal berkualitas menengah.
5) Kawasan adiwisma, tempat tinggal
berkualitas tinggi.
6) Pusat industri berat.
7) Pusat niaga/perbelanjaan lain di
pinggiran
8) Zona pemukiman suburban
(madyawisma dan adiwisma).
9) Zona industri suburban.
Adapun tahapan perkembangan kota di
mulai dari beberapa tahap berikut ini.
1. Tahap eopolis, yaitu tahap
perkembangan wilayah yang sudah diatur kearah kehidupan kota.
2. Tahap polis, yaitu tahap
perkembangan kota yang masih ada pengaruh kehidupan desa.
3. Tahap metropolis, yaitu tahap
perkembangan desa yang sudah mengarah ke sektor industri.
4. Tahap megapolis, yaitu tahap
perkembangan kota yang telah mencapai tingkat tertinggi.
5 Tahap trinapolis, yaitu tahap
perkembangan kota yang kehidupannya sulit dikendalikan.
6 Tahap nekropolis, yaitu tahap perkembangan
kota yang kehidupannya mulai sepi dan mengarah menjadi kota mati.
Berdasarkan bentuk bangunan dan
persebarannya, tahap perkembangan kota dapat dibedakan menjadi 4 yaitu, sebagai
berikut.
1 Standia infatile,yaitu bebentuk
rumah dan toko menjadi satu.
2 Standia juventile,yaitu bentuk
rumah kuno yang diganti menjadi rumah baru.
3. Standia sinile,yaitu bentuk
kemunduran pada kota masing-masing.
4. Standia mature,yaitu bentuk rumah
yang diatur penyusunannya seperti kawasan industri.
a. Kota Pusat Perdagangan
Berdasarkan sejarah pertumbuhan
kota, kota yang berasal dari pusat perdagangan adalah kota Jakarta. Sejak zaman
Penjajahan Belanda, Jakarta dikenal dengan beberapa nama seperti Jayakarta,
Batavia, dan Sunda Kelapa. Berdasarkan sejarah kota Jakarta merupakan kota
pusat perdagangan yang juga sebagai kota pelabuhan dan pusat pemerintahan.
b. Kota Perkebunan
Kota-kota yang berada di Pulau Jawa
dan Sumatra berkembang karena adanya usaha perkebunan. Kota Medan dan Pematang
Siantar di Sumatra termasuk kota perkebunan, di mana dahulunya merupakan kota
yang banyak perkebunan milik Belanda.
Beberapa kota yang tumbuh di
Indonesia disebabkan adanya kegiatan pertambangan. Hal ini disebakan karena
beberapa komoditas hasil tambang sangat bernilai ekonomis yang dapat menarik
penduduk sekitarnya sehingga menjadi pusat kegiatan penduduk. Contoh kota-kota
yang tumbuh dari
adanya pertambangan adalah:
• Martapura karena adanya tambang
intan
• Bangka dan Belitung karena adanya
tambang timah
• Balikpapan karena adanya minyak
bumi
• Soroako karena adanya tambang
nikel
• Ombilin dan Muara Enim karena
adanya batubara
• Arun dan Bontang karena adanya gas
alam
• Tembaga Pura karena adanya tambang
tembaga.
d. Kota Pusat Pariwisata
Beberapa kota di Indonesia dapat
tumbuh dan berkembang karena adanya tempat pariwisata baik yang disebabkan oleh
hasil karya dan kebudayaan manusia atau karena potensi keindahan alamnya.
Contoh kota ini adalah Yogyakarta,
Surakarta, dan Bali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar